Disusun oleh,
Nama :
Agung Dwi Putranto
NPM :
39111534
Pengertian
Motivasi dan Teori-Teori Motivasi
Motivasi
Motivasi adalah proses
yang menjelaskan intensitas, arah, dan
ketekunan seorang individu untuk mencapai tujuannya. Tiga elemen utama dalam
definisi ini adalah intensitas, arah, dan ketekunan.
Berdasarkan teori hierarki
kebutuhan Abraham Maslow, teori X dan Y Douglas McGregor maupun teori motivasi
kontemporer, arti motivasi adalah alasan yang mendasari sebuah perbuatan
yang dilakukan oleh seorang individu. Seseorang dikatakan memiliki motivasi tinggi
dapat diartikan orang tersebut memiliki alasan yang sangat kuat untuk mencapai
apa yang diinginkannya dengan mengerjakan pekerjaannya yang sekarang. Berbeda
dengan motivasi dalam pengertian yang berkembang di masyarakat yang seringkali
disamakan dengan semangat, seperti contoh dalam percakapan "saya
ingin anak saya memiliki motivasi yang tinggi". Statemen ini bisa
diartikan orang tua tersebut menginginkan anaknya memiliki semangat belajar
yang tinggi. Maka, perlu dipahami bahwa ada perbedaan penggunaan istilah
motivasi di masyarakat. Ada yang mengartikan motivasi sebagai sebuah alasan,
dan ada juga yang mengartikan motivasi sama dengan semangat.
Dalam hubungan antara motivasi
dan intensitas, intensitas terkait dengan seberapa giat seseorang berusaha, tetapi
intensitas tinggi tidak menghasilkan prestasi kerja yang memuaskan kecuali
upaya tersebut dikaitkan dengan arah yang menguntungkan organisasi.
Sebaliknya elemen yang terakhir, ketekunan, merupakan ukuran mengenai berapa
lama seseorang dapat mempertahankan usahanya.
Sejarah Teori Motivasi
Tahun 1950an
merupakan periode perkembangan konsep-konsep motivasi. Teori-teori yang berkembang pada masa ini
adalah hierarki teori kebutuhan, teori X dan Y, dan teori dua faktor. Teori-teori
kuno dikenal karena merupakan dasar berkembangnya teori yang ada hingga saat
ini yang digunakan oleh manajer pelaksana di organisasi-organisasi di dunia
dalam menjelaskan motivasi karyawan.
Teori hierarki kebutuhan
Teori motivasi yang paling
terkenal adalah hierarki teori kebutuhan
milik Abraham Maslow. Ia membuat
hipotesis bahwa dalam setiap diri manusia terdapat hierarki
dari lima kebutuhan, yaitu fisiologis (rasa lapar, haus, seksual, dan
kebutuhan fisik lainnya), rasa aman (rasa ingin dilindungi dari bahaya fisik
dan emosional),
sosial (rasa kasih sayang, kepemilikan, penerimaan, dan persahabatan),
penghargaan (faktor penghargaan internal dan eksternal), dan aktualisasi diri
(pertumbuhan, pencapaian potensi seseorang, dan pemenuhan diri sendiri).
Maslow memisahkan lima kebutuhan
ke dalam urutan-urutan. Kebutuhan fisiologis dan rasa aman dideskripsikan
sebagai kebutuhan tingkat bawah sedangkan kebutuhan sosial,
penghargaan, dan aktualisasi diri sebagai kebutuhan tingkat atas. Perbedaan
antara kedua tingkat tersebut adalah dasar pemikiran bahwa kebutuhan tingkat
atas dipenuhi secara internal sementara kebutuhan tingkat rendah secara dominan
dipenuhi secara eksternal.
Teori kebutuhan Maslow telah
menerima pengakuan luas di antara manajer pelaksana karena teori
ini logis secara intuitif.
Namun, penelitian tidak memperkuat teori ini dan Maslow tidak memberikan bukti
empiris dan beberapa penelitian yang berusaha mengesahkan teori ini tidak
menemukan pendukung yang kuat.
Teori X dan teori Y
Douglas McGregor menemukan teori
X dan teori Y setelah mengkaji cara para manajer
berhubungan dengan para karyawan. Kesimpulan yang didapatkan adalah pandangan manajer
mengenai sifat manusia didasarkan atas beberapa kelompok asumsi
tertentu dan bahwa mereka cenderung membentuk perilaku
mereka terhadap karyawan berdasarkan asumsi-asumsi tersebut.
Ada empat asumsi yang dimiliki manajer
dalam teori X.
- Karyawan pada dasarnya tidak menyukai pekerjaan dan sebisa mungkin berusaha untuk menghindarinya.
- Karena karyawan tidak menyukai pekerjaan, mereka harus dipakai, dikendalikan, atau diancam dengan hukuman untuk mencapai tujuan.
- Karyawan akan mengindari tanggung jawab dan mencari perintah formal, di mana ini adalah asumsi ketiga.
- Sebagian karyawan menempatkan keamanan di atas semua faktor lain terkait pekerjaan dan menunjukkan sedikit ambisi.
Bertentangan dengan
pandangan-pandangan negatif mengenai sifat manusia
dalam teori X, ada pula empat asumsi positif yang disebutkan dalam teori Y.
- Karyawan menganggap kerja sebagai hal yang menyenangkan, seperti halnya istirahat atau bermain.
- Karyawan akan berlatih mengendalikan diri dan emosi untuk mencapai berbagai tujuan.
- Karyawan bersedia belajar untuk menerima, mencari, dan bertanggungjawab. *Karyawan mampu membuat berbagai keputusan inovatif yang diedarkan ke seluruh populasi, dan bukan hanya bagi mereka yang menduduki posisi manajemen.
Pengertian, Visioner, Tegas,
Bijaksana Bisa menempatkan diri, Mampu/cakap Terbuka, Mampu mengatur, Disegani
, Cerdas, Cekatan, Terampil, Pemotivasi, Jujur, Berwibawa, Berwawasan luas,
Konsekuen, Melayani, Credible, Mampu membawa perubahan, Adil,
Berperikemanusiaan, Kreatif, Inovatif, Sabar, Bertanggung jawab, Konsiten, Low
profile, Sederhana dan humble (rendah hati), Rendah hati/humble, Royal/tidak
kikir, berjiwa sosial Loyal (setia) kepada bawahan, Disiplin, Mampu menjadi
tauladan/memberi contoh, Punya integritas, Berdikasi/berjiwa mengabdi, Dapat
dipercaya (credible), Percaya diri, Kritis, Religious, Mengayomi, Responsive
(cepat tanggap), Teliti, Supel (ramah), Pema’af, Peduli (care), Profesional,
Berprestasi, Penyelesai Masalah (problem solver), Good looking, Sopan, Cerdas
secara emosi (memiliki tingkat EQ yang tinggi
Teori motivasi kontemporer
Teori motivasi kontemporer
bukan teori yang dikembangkan baru-baru ini, melainkan teori yang menggambarkan
kondisi pemikiran saat ini dalam menjelaskan motivasi karyawan.
Teori motivasi kontemporer mencakup:
Teori kebutuhan McClelland
Teori kebutuhan McClelland
dikembangkan oleh David McClelland dan teman-temannya. Teori kebutuhan
McClelland berfokus pada tiga kebutuhan yang didefinisikan sebagai berikut:
·
- kebutuhan berprestasi: dorongan untuk melebihi, mencapai standar-standar, berusaha keras untuk berhasil.
- kebutuhan berkuasa: kebutuhan untuk membuat individu lain berperilaku sedemikian rupa sehingga mereka tidak akan berperilaku sebaliknya.
- kebutuhan berafiliasi: keinginan untuk menjalin suatu hubungan antarpersonal yang ramah dan akrab.
Teori evaluasi kognitif
Teori evaluasi kognitif adalah
teori yang menyatakan bahwa pemberian penghargaan-penghargaan ekstrinsik untuk
perilaku yang sebelumnya memuaskan secara intrinsik cenderung mengurangi
tingkat motivasi secara keseluruhan. Teori evaluasi kognitif telah diteliti
secara eksensif dan ada banyak studi yang mendukung.
Teori penentuan tujuan
Teori penentuan tujuan adalah
teori yang mengemukakan bahwa niat untuk mencapai tujuan merupakan sumber
motivasi kerja yang utama. Artinya, tujuan memberitahu seorang karyawan apa
yang harus dilakukan dan berapa banyak usaha yang harus dikeluarkan.
Teori penguatan
Teori penguatan
adalah teori di mana perilaku merupakan sebuah fungsi dari
konsekuensi-konsekuensinya jadi teori tersebut mengabaikan keadaan batin individu
dan hanya terpusat pada apa yang terjadi pada seseorang ketika ia melakukan
tindakan.
Teori Keadilan
Teori keadilan
adalah teori bahwa individu membandingkan masukan-masukan dan hasil pekerjaan
mereka dengan masukan-masukan dan hasil pekerjaan orang lain, dan kemudian
merespons untuk menghilangkan ketidakadilan.
Teori harapan
Teori harapan
adalah kekuatan dari suatu kecenderungan untuk bertindak dalam cara tertentu
bergantung pada kekuatan dari suatu harapan bahwa tindakan
tersebut akan diikuti dengan hasil yang ada dan pada daya tarik dari hasil itu
terhadap individu tersebut.
Area motivasi manusia
Empat area utama motivasi
manusia adalah makanan, cinta, seks, dan pencapaian. Tujuan-tujuan yang mendasari
motivasi ditentukan sendiri oleh individu yang melakukannya, individu dianggap
tergerak untuk mencapai tujuan karena motivasi intrinsik
(keinginan beraktivitas atau meraih pencapaian tertentu semata-mata demi
kesenangan atau kepuasan dari melakukan aktivitas tersebut), atau karena
motivasi ekstrinsik,
yakni keinginan untuk mengejar suatu tujuan yang diakibatkan oleh
imbalan-imbalan eksternal. disamping itu terdapat pula fsktor yang lain yang
mendukung diantaranya ialah faktor internal yang datang dari dalam diri orang
itu sendiri.
Variabel-Variabel Motivasi
Kerlinger, N. Fred dan Elazar J.
Pedhazur (1987) dalam Cut Zurnali (2004) menyatakan bahwa variabel motivasi
terdiri dari: (1) Motif atas kebutuhan dari pekerjaan (Motive); (2) Pengharapan
atas lingkungan kerja (Expectation); (3) Kebutuhan atas imbalan (Insentive).
Hal ini juga sesuai dengan yang di kemukakan Atkinson (William G Scott, 1962:
83), memandang bahwa motivasi adalah merupakan hasil penjumlahan dari fungsi-fungsi
motive, harapan dan insentif (Atkinson views motivation strengh in the form of
an equattion-motivation = f (motive + expectancy + incentive).
Jadi, mengacu pada pendapat-pendapat para ahli di atas, Cut Zurnali (2004) mengemukakan bahwa motivasi karyawan dipengaruhi oleh motif, harapan dan insentif yang diinginkan. Dalam banyak penelitian di bidang manajemen, administrasi, dan psikologi, variabel-variabel motivasi ini sering digunakan. Berikut akan dijelaskan masing-masing variabel motivasi tersebut.
Motif
Menurut Cut Zurnali (2004),
motif adalah faktor-faktor yang menyebabkan individu bertingkah laku atau
bersikap tertentu. Jadi dicoba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti
kebutuhan apa yang dicoba dipuaskan oleh seseorang? Apa yang menyebabkan mereka
melakukan sesuatu pekerjaan atau aktivitas. Ini berarti bahwa setiap individu
mempunyai kebutuhan yang ada di dalam dirinya (inner needs) yang menyebabkan
mereka didorong, ditekan atau dimotivasi untuk memenuhinya. Kebutuhan tertentu
yang mereka rasakan akan menentukan tindakan yang mereka lakukan.
Lebih lanjut Cut Zurnali
mengutip pendapat Fremout E. kast dan james E. Rosenzweig (1970) yang
mendefinisikan motive sebagai : a motive what prompts a person to act in a
certain way or at least develop appropensity for speccific behavior. The urge
to action can tauched off by an external stimulus, or it can be internally
generated in individual thought processes. Jadi motive adalah suatu dorongan
yang datang dari dalam diri seseorang untuk melakukan atau sedikitnya adalah
suatu kecenderungan menyumbangkan perbuatan atau tingkah laku tertentu.
William G Scott (1962: 82)
menerangkan tentang motive adalah kebutuhan yang belum terpuaskan yang
mendorong individu untuk mencapai tujuan tertentu. Secara lengkap motiv menurut
Scott motive are unsatiesfied need which prompt an individual toward the
accomplishment of aplicable goals. Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan,
motive adalah dorongan yang ada di dalam diri seseorang untuk melakukan
perbuatan guna memenuhi kepuasannya yang belum terpuaskan. Selain itu, Maslow
sebagaimana diungkap pada halaman sebelumnya membagi kebutuhan manusia ke dalam
beberapa hirarki, yakni kebutuhan-kebutuhan fisik, keselamatan dan keamanan,
sosial, penghargaan atau prestise dan kebutuhan aktualisasi diri.
Harapan
Mengacu pada pendapat Victor
Vroom, Cut Zurnali (2004)mengemukakan bahwa ekspektasi adalah adanya kekuatan
dari kecenderungan untuk bekerja secara benar tergantung pada kekuatan dari
pengharapan bahwa kerja akan diikuti dengan pemberian jaminan, fasilitas dan
lingkungan atau outcome yang menarik. RL. Kahn dan NC Morce (1951: 264) secara
singkat mengemukakan pendapatan mereka tentang expectation, yakni Expectation
which is the probability that the act will obtain the goal. Jadi harapan adalah
merupakan kemungkinan bahwa dengan perbuatan akan mencapai tujuan. Arthur
levingson dalam buku Vilfredo Pareto (1953: 178) menyatakan : The
individual is influenced in his action by two major sources of role expectation
the formal demands made by the company as spalled out in the job, and the
informal expectation forces make behavioral demans on the individual attemps to
structure the social situation and the devine his place in it.
Dengan merumuskan beberapa
pendapat para ahli, Cut Zurnali (2004) menyatakan bahwa terdapat dua sumber
besar yang dapat mempengaruhi kelakuan individu, yaitu : sumber-sumber
harapan yang berkenaan dengan peranannya antara lain, tuntutan formal dari
pihak pekerjaan yang terperinci dalam tugas yang seharusnya dilakukan. Dan
tuntutan informal yang dituntut oleh kelompok-kelompok yang ditemui individu
dalam lingkungan kerja. Di samping itu, menurut Wiliam G Scott (1962: 105),
addtionally, as could be anticipated, the groups themselves can be axpected to
interact, effecting the others expectations. Ternyata kelompok karyawan sendiri
dapat juga mempengaruhi harapan-harapan yang akan dicapainya. Dan dengan adanya
keyakinan atau pengharapan untuk sukses dapat memotivasi seseorang untuk
mewujudkan atau menggerakkan usahanya (Gary Dessler, 1983: 66). Selanjutnya
Vroom yang secara khusus memformulasikan teori expectancy mengajukan 3 (tiga)
konsep konsep dasar, yaitu : (1) Valence atau kadar keinginan seseorang;
(2) Instrumentality atau alat perantara; (3) Expectacy atau keyakinan untuk
mewujudkan keinginan itu sendiri (Gary Dessler, 1983: 66).
Insentif
Dalam kaitannya dengan insentif
(incentive), Cut Zurnali mengacu pada pendapat Robert Dubin (1988) yang
menyatakan bahwa pada dasarnya incentive itu adalah peransang, tepatnya pendapat
Dubin adalah incentive are the inducement placed the course of an going
activities, keeping activities toward directed one goal rather than another.
Arti pendapat itu kurang lebih, insentif adalah perangsang yang menjadikan
sebab berlangsungnya kegiatan, memelihara kegiatan agar mengarah langsung
kepada satu tujuan yang lebih baik dari yang lain. Morris S. Viteles (1973: 76)
merumuskan insentif sebagai keadaan yang membangkitkan kekuatan dinamis
individu, atau persiapan-persiapan dari pada keadaan yang mengantarkan dengan
harapan dapat mempengaruhi atau merubah sikap atau tingkah laku orang-orang.
Secara lebih lengkap Viteles menyatakan : incentive are situasions which
function in arousing dynamis forces in the individual, or managements of conditions
introduced with the expectation of influencing or altering the behavior of
people.
Menurut Cut Zurnali, pendapat
yang mengemukakan bahwa insentif adalah suatu perangsang atau daya tarik yang
sengaja diberikan kepada karyawan dengan tujuan agar karyawan ikut membangun,
memelihara dan mempertebal serta mengarahkan sikap atau tingkah laku mereka
kepada satu tujuan yang akan dicapai perusahaan. Joseph Tiffin (1985: 267)
mengatakan bahwa pemnberian insentif sangat diperlukan terutama apabila
karyawan tidak banyak mengetahui tentang hal apa yang akan dilakukannya.
Berikut secara lengkap diuraikan pendapat Tiffin: ordinary speaking, people
will not learn very much about anything unless they are motivated to do so,
that is, unless they are supplied with an adequate incentive. Maknanya bahwa
seseorang tidak banyak mengetahui tentang sesuatu hal, apabila mereka tidak
didorong untuk melakukan pekerjaan yang demikian itu, yaitu apabila mereka
tidak dibekali dengan insentif secara cukup.
Motivasi dapat diartikan sebagai
kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan
entusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam
diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu
(motivasi ekstrinsik).
Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan
banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam
konteks belajar, bekerja maupun dalam kehidupan lainnya.. Kajian tentang motivasi
telah sejak lama memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan pendidik,
manajer, dan peneliti, terutama dikaitkan dengan kepentingan upaya pencapaian
kinerja (prestasi) seseorang. Dalam konteks studi psikologi, Abin Syamsuddin
Makmun (2003) mengemukakan bahwa untuk memahami motivasi individu dapat dilihat
dari beberapa indikator, diantaranya: (1) durasi kegiatan; (2) frekuensi
kegiatan; (3) persistensi pada kegiatan; (4) ketabahan, keuletan dan kemampuan
dalam mengahadapi rintangan dan kesulitan; (5) devosi dan pengorbanan untuk
mencapai tujuan; (6) tingkat aspirasi yang hendak dicapai dengan kegiatan yang
dilakukan; (7) tingkat kualifikasi prestasi atau produk (out put) yang dicapai
dari kegiatan yang dilakukan; (8) arah sikap terhadap sasaran kegiatan.
Untuk memahami tentang motivasi, kita akan
bertemu dengan beberapa teori tentang motivasi, antara lain : (1) teori Abraham
H. Maslow (Teori Kebutuhan); (2) Teori McClelland (Teori Kebutuhan
Berprestasi); (3) teori Clyton Alderfer (Teori ERG); (4) teori Herzberg (Teori
Dua Faktor); (5) teori Keadilan; (6) Teori penetapan tujuan; (7) Teori Victor
H. Vroom (teori Harapan); (8) teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku; dan (9)
teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi. (disarikan dari berbagai sumber :
Winardi, 2001:69-93; Sondang P. Siagian, 286-294; Indriyo Gitosudarmo dan Agus
Mulyono,183-190, Fred Luthan,140-167).
1.
Teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan)
Teori
motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada intinya berkisar pada
pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan, yaitu :
(1) kebutuhan fisiologikal (physiological needs), seperti : rasa lapar, haus,
istirahat dan sex; (2) kebutuhan rasa aman (safety needs), tidak dalam arti
fisik semata, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual; (3)
kebutuhan akan kasih sayang (love needs); (4) kebutuhan akan harga diri (esteem
needs), yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status; dan
(5) aktualisasi diri (self actualization), dalam arti tersedianya kesempatan
bagi seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga
berubah menjadi kemampuan nyata.
Kebutuhan-kebutuhan
yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang
diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai
kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi
kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia
itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan manusia berbeda
satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu yang unik.
Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan tetapi
bersifat pskologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.
Menarik
pula untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan
berkembang di masyarakat dan makin mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia
dalam kehidupan organisasional, teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan,
bahkan dikatakan mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut
terutama diarahkan pada konsep “hierarki kebutuhan “ yang dikemukakan oleh
Maslow. Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai tingkatan. Atau secara
analogi berarti anak tangga. Logikanya ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti
dimulai dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika
konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti
seseorang tidak akan berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua,- dalam hal ini
keamanan- sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan papan
terpenuhi; yang ketiga tidak akan diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa
aman, demikian pula seterusnya.
Berangkat
dari kenyataan bahwa pemahaman tentang berbagai kebutuhan manusia makin
mendalam penyempurnaan dan “koreksi” dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi
juga memang diperlukan karena pengalaman menunjukkan bahwa usaha pemuasan
berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara simultan. Artinya, sambil
memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang bersamaan ingin menikmati
rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta ingin berkembang.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia
digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini,
perlu ditekankan bahwa :
- Kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang;
- Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya.
- Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.
Kendati
pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis,
namun telah memberikan fundasi dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori
motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat
aplikatif.
2.
Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi)
Dari
McClelland dikenal tentang teori kebutuhan untuk mencapai prestasi atau Need
for Acievement (N.Ach) yang menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda, sesuai
dengan kekuatan kebutuhan seseorang akan prestasi. Murray sebagaimana dikutip
oleh Winardi merumuskan kebutuhan akan prestasi tersebut sebagai keinginan :“
Melaksanakan sesuatu tugas atau pekerjaan yang sulit. Menguasai, memanipulasi,
atau mengorganisasi obyek-obyek fisik, manusia, atau ide-ide melaksanakan
hal-hal tersebut secepat mungkin dan seindependen mungkin, sesuai kondisi yang
berlaku. Mengatasi kendala-kendala, mencapai standar tinggi. Mencapai performa
puncak untuk diri sendiri. Mampu menang dalam persaingan dengan pihak lain.
Meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan bakat secara berhasil.”
Menurut
McClelland karakteristik orang yang berprestasi tinggi (high achievers)
memiliki tiga ciri umum yaitu : (1) sebuah preferensi untuk mengerjakan
tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat; (2) menyukai situasi-situasi di
mana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya mereka sendiri, dan bukan karena
faktor-faktor lain, seperti kemujuran misalnya; dan (3) menginginkan umpan
balik tentang keberhasilan dan kegagalan mereka, dibandingkan dengan mereka
yang berprestasi rendah.
3.
Teori Clyton Alderfer (Teori “ERG)
Teori
Alderfer dikenal dengan akronim “ERG” . Akronim “ERG” dalam teori Alderfer
merupakan huruf-huruf pertama dari tiga istilah yaitu : E = Existence
(kebutuhan akan eksistensi), R = Relatedness (kebutuhanuntuk berhubungan dengan
pihak lain, dan G = Growth (kebutuhan akan pertumbuhan)
Jika
makna tiga istilah tersebut didalami akan tampak dua hal penting. Pertama,
secara konseptual terdapat persamaan antara teori atau model yang dikembangkan
oleh Maslow dan Alderfer. Karena “Existence” dapat dikatakan identik dengan
hierarki pertama dan kedua dalam teori Maslow; “ Relatedness” senada dengan
hierarki kebutuhan ketiga dan keempat menurut konsep Maslow dan “Growth”
mengandung makna sama dengan “self actualization” menurut Maslow. Kedua, teori
Alderfer menekankan bahwa berbagai jenis kebutuhan manusia itu diusahakan
pemuasannya secara serentak. Apabila teori Alderfer disimak lebih lanjut akan
tampak bahwa :
- Makin tidak terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu, makin besar pula keinginan untuk memuaskannya;
- Kuatnya keinginan memuaskan kebutuhan yang “lebih tinggi” semakin besar apabila kebutuhan yang lebih rendah telah dipuaskan;
- Sebaliknya, semakin sulit memuaskan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi, semakin besar keinginan untuk memuasakan kebutuhan yang lebih mendasar.
Tampaknya
pandangan ini didasarkan kepada sifat pragmatisme oleh manusia. Artinya, karena
menyadari keterbatasannya, seseorang dapat menyesuaikan diri pada kondisi
obyektif yang dihadapinya dengan antara lain memusatkan perhatiannya kepada
hal-hal yang mungkin dicapainya.
4.
Teori Herzberg (Teori Dua Faktor)
Ilmuwan
ketiga yang diakui telah memberikan kontribusi penting dalam pemahaman motivasi
Herzberg. Teori yang dikembangkannya dikenal dengan “ Model Dua Faktor” dari
motivasi, yaitu faktor motivasional dan faktor hygiene atau “pemeliharaan”.
Menurut
teori ini yang dimaksud faktor motivasional adalah hal-hal yang mendorong
berprestasi yang sifatnya intrinsik, yang berarti bersumber dalam diri
seseorang, sedangkan yang dimaksud dengan faktor hygiene atau pemeliharaan
adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik yang berarti bersumber dari luar
diri yang turut menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan seseorang.
Menurut
Herzberg, yang tergolong sebagai faktor motivasional antara lain ialah
pekerjaan seseorang, keberhasilan yang diraih, kesempatan bertumbuh, kemajuan
dalam karier dan pengakuan orang lain. Sedangkan faktor-faktor hygiene atau
pemeliharaan mencakup antara lain status seseorang dalam organisasi, hubungan
seorang individu dengan atasannya, hubungan seseorang dengan rekan-rekan
sekerjanya, teknik penyeliaan yang diterapkan oleh para penyelia, kebijakan
organisasi, sistem administrasi dalam organisasi, kondisi kerja dan sistem
imbalan yang berlaku.
Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg ialah memperhitungkan dengan tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat dalam kehidupan seseorang, apakah yang bersifat intrinsik ataukah yang bersifat ekstrinsik
Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg ialah memperhitungkan dengan tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat dalam kehidupan seseorang, apakah yang bersifat intrinsik ataukah yang bersifat ekstrinsik
5.
Teori Keadilan
Inti
teori ini terletak pada pandangan bahwa manusia terdorong untuk menghilangkan
kesenjangan antara usaha yang dibuat bagi kepentingan organisasi dengan imbalan
yang diterima. Artinya, apabila seorang pegawai mempunyai persepsi bahwa
imbalan yang diterimanya tidak memadai, dua kemungkinan dapat terjadi, yaitu :
- Seorang akan berusaha memperoleh imbalan yang lebih besar, atau
- Mengurangi intensitas usaha yang dibuat dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
Dalam
menumbuhkan persepsi tertentu, seorang pegawai biasanya menggunakan empat hal
sebagai pembanding, yaitu :
- Harapannya tentang jumlah imbalan yang dianggapnya layak diterima berdasarkan kualifikasi pribadi, seperti pendidikan, keterampilan, sifat pekerjaan dan pengalamannya;
- Imbalan yang diterima oleh orang lain dalam organisasi yang kualifikasi dan sifat pekerjaannnya relatif sama dengan yang bersangkutan sendiri;
- Imbalan yang diterima oleh pegawai lain di organisasi lain di kawasan yang sama serta melakukan kegiatan sejenis;
- Peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai jumlah dan jenis imbalan yang merupakan hak para pegawai
Pemeliharaan
hubungan dengan pegawai dalam kaitan ini berarti bahwa para pejabat dan petugas
di bagian kepegawaian harus selalu waspada jangan sampai persepsi ketidakadilan
timbul, apalagi meluas di kalangan para pegawai. Apabila sampai terjadi maka
akan timbul berbagai dampak negatif bagi organisasi, seperti ketidakpuasan,
tingkat kemangkiran yang tinggi, sering terjadinya kecelakaan dalam
penyelesaian tugas, seringnya para pegawai berbuat kesalahan dalam melaksanakan
pekerjaan masing-masing, pemogokan atau bahkan perpindahan pegawai ke
organisasi lain.
6.
Teori penetapan tujuan (goal setting theory)
Edwin
Locke mengemukakan bahwa dalam penetapan tujuan memiliki empat macam mekanisme
motivasional yakni : (a) tujuan-tujuan mengarahkan perhatian; (b) tujuan-tujuan
mengatur upaya; (c) tujuan-tujuan meningkatkan persistensi; dan (d)
tujuan-tujuan menunjang strategi-strategi dan rencana-rencana kegiatan. Bagan
berikut ini menyajikan tentang model instruktif tentang penetapan tujuan.
7.
Teori Victor H. Vroom (Teori Harapan )
Victor
H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul “Work And Motivation” mengetengahkan
suatu teori yang disebutnya sebagai “ Teori Harapan”. Menurut teori ini,
motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan
perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang
diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan
jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya
mendapatkannya.
Dinyatakan
dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan berkata bahwa jika seseorang
menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang
bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu.
Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis,
motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah.
Di
kalangan ilmuwan dan para praktisi manajemen sumber daya manusia teori harapan
ini mempunyai daya tarik tersendiri karena penekanan tentang pentingnya bagian
kepegawaian membantu para pegawai dalam menentukan hal-hal yang diinginkannya
serta menunjukkan cara-cara yang paling tepat untuk mewujudkan keinginannnya
itu. Penekanan ini dianggap penting karena pengalaman menunjukkan bahwa para
pegawai tidak selalu mengetahui secara pasti apa yang diinginkannya, apalagi
cara untuk memperolehnya.
8.
Teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku
Berbagai
teori atau model motivasi yang telah dibahas di muka dapat digolongkan sebagai
model kognitif motivasi karena didasarkan pada kebutuhan seseorang berdasarkan
persepsi orang yang bersangkutan berarti sifatnya sangat subyektif. Perilakunya
pun ditentukan oleh persepsi tersebut.
Padahal
dalam kehidupan organisasional disadari dan diakui bahwa kehendak seseorang
ditentukan pula oleh berbagai konsekwensi ekstrernal dari perilaku dan
tindakannya. Artinya, dari berbagai faktor di luar diri seseorang turut berperan
sebagai penentu dan pengubah perilaku.
Dalam
hal ini berlakulah apaya yang dikenal dengan “hukum pengaruh” yang menyatakan
bahwa manusia cenderung untuk mengulangi perilaku yang mempunyai konsekwensi
yang menguntungkan dirinya dan mengelakkan perilaku yang mengibatkan perilaku
yang mengakibatkan timbulnya konsekwensi yang merugikan.
Contoh
yang sangat sederhana ialah seorang juru tik yang mampu menyelesaikan tugasnya
dengan baik dalam waktu singkat. Juru tik tersebut mendapat pujian dari
atasannya. Pujian tersebut berakibat pada kenaikan gaji yang dipercepat. Karena
juru tik tersebut menyenangi konsekwensi perilakunya itu, ia lalu terdorong
bukan hanya bekerja lebih tekun dan lebih teliti, akan tetapi bahkan berusaha
meningkatkan keterampilannya, misalnya dengan belajar menggunakan komputer
sehingga kemampuannya semakin bertambah, yang pada gilirannya diharapkan
mempunyai konsekwensi positif lagi di kemudian hari.
Contoh
sebaliknya ialah seorang pegawai yang datang terlambat berulangkali mendapat
teguran dari atasannya, mungkin disertai ancaman akan dikenakan sanksi
indisipliner. Teguran dan kemungkinan dikenakan sanksi sebagi konsekwensi
negatif perilaku pegawai tersebut berakibat pada modifikasi perilakunya, yaitu
datang tepat pada waktunya di tempat tugas.
Penting untuk diperhatikan bahwa agar cara-cara yang digunakan untuk modifikasi perilaku tetap memperhitungkan harkat dan martabat manusia yang harus selalu diakui dan dihormati, cara-cara tersebut ditempuh dengan “gaya” yang manusiawi pula.
Penting untuk diperhatikan bahwa agar cara-cara yang digunakan untuk modifikasi perilaku tetap memperhitungkan harkat dan martabat manusia yang harus selalu diakui dan dihormati, cara-cara tersebut ditempuh dengan “gaya” yang manusiawi pula.
9.
Teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi.
Bertitik
tolak dari pandangan bahwa tidak ada satu model motivasi yang sempurna, dalam
arti masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, para ilmuwan terus
menerus berusaha mencari dan menemukan sistem motivasi yang terbaik, dalam arti
menggabung berbagai kelebihan model-model tersebut menjadi satu model.
Tampaknya terdapat kesepakan di kalangan para pakar bahwa model tersebut ialah
apa yang tercakup dalam teori yang mengaitkan imbalan dengan prestasi seseorang
individu .
Menurut
model ini, motivasi seorang individu sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor,
baik yang bersifat internal maupun eksternal. Termasuk pada faktor internal
adalah : (a) persepsi seseorang mengenai diri sendiri; (b) harga diri; (c)
harapan pribadi; (d) kebutuhaan; (e) keinginan; (f) kepuasan kerja; (g)
prestasi kerja yang dihasilkan.
Sedangkan
faktor eksternal mempengaruhi motivasi seseorang, antara lain ialah : (a) jenis
dan sifat pekerjaan; (b) kelompok kerja dimana seseorang bergabung; (c) organisasi
tempat bekerja; (d) situasi lingkungan pada umumnya; (e) sistem imbalan yang
berlaku dan cara penerapannya.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar